5BERITA.COM, PADANG — Setelah Perang Dunia II berakhir, negara-negara di Eropa Barat mulai menyusun rencana untuk membentuk aliansi pertahanan bersama Amerika Serikat melalui North Atlantic Treaty Organization (NATO). Sejak saat itu, keamanan kawasan Eropa sangat bergantung pada kekuatan militer dan perlindungan yang diberikan oleh AS. Namun, hingga saat ini keinginan tersebut masih menjadi sekedar mimpi belaka karena kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan harapan tersebut karena bahkan setelah UE dibentuk, Eropa masih belum memiliki struktur pertahanan yang benar-benar independen dan masih sangat bergantung pada Amerika Serikat khususnya dalam bidang militer, intelejen, dan koordinasi keamanan melalui NATO.
Situasi ini mendapat sorotan baru sejak invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina pada sejak Februari 2022 tak hanya mengguncang Eropa secara geopolitik, tetapi juga kembali memicu pembahasan tentang usaha Uni Eropa untuk mandiri dalam bidang pertahanan, keamanan, dan kebijakan luar negeri dan tidak lagi bergantung pada pihak lain. Sejak konflik Rusia dan Ukraina, hubungan antara Ukraina, Uni Eropa, dan Amerika Serikat menjadi semakin erat. Uni Eropa yang berbatasan langsung dengan Ukraina, melihat konflik ini sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasannya, terlebih lagi dengan status Ukraina yang sudah menjadi calon anggota Uni Eropa. Sedangkan di sisi lain, Amerika Serikat yang merupakan pendukung utama pertahanan Ukraina melalui pemberian bantuan militer terbesar dan berusaha memimpin upaya kolektif Barat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.

Dinamika ini menciptakan perdebatan yang menarik, dimana ambisi untuk mandiri secara militer dan politik muncul disaat UE masih belum mampu memiliki kekuatan untuk pertahanan dan keamanan yang setara dengan peninggalan AS sehingga aliansi transatlantik tetap mendominasi dalam struktur keamanan Eropa. Hingga saat ini, Uni Eropa masih belum memiliki markas komando militer permanen sehingga dalam praktinya masih sangat bergantung pada kekuatan militer NATO dan Amerika Serikat terutama untuk perencanaan dan operasi militer besar. Meskipun telah banyak inisiatif yang muncul seperti EU Operations Center (2012-2016) dan MPCC (Military Planning and Conduct Capability) sejak tahun 2017, akan tetapi kedua lembaga ini sifatnya masih hanya menangani operasi non-eksekutif, bukan struktur komando penuh. Beberapa hal menjadi penyebab utama gagalnya inisiatif-inisiatif ini adalah karena adanya konflik internal antara negara-negara besar di Uni Eropa, seperti Prancis. Jerman, dan Inggris yang disebabkan karena perbedaan kepentingan dan kekhawatiran terhadap duplikasi peran NATO.
Meskipun demikian, Uni Eropa tetap terus berusaha untuk menunjukkan komitmennya untuk memperkuat otonomi strategisnya melalui berbagai langkah konkret. Salah satunya adalah pemberlakuan sanksi terhadap Rusia dan bahkan Uni Eropa menyetujui pendanaan senjata untuk Ukraina yang mencapai €2 miliar melalui European Peace Facility (EPF). Selanjutnya, menurut Council of the European Union (2022), Uni Eropa juga berusaha mewujudkan kerangka strategis dalam hal pertahanan dan keamanan melalui Strategic Compass (2022-2030), yang menegaskan bahwa Uni Eropa perlu untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar melalui Common Security and Defence Policy (CSDP) yang mencakup empat pilar utama yaitu act, invest, secure, and partner.
Dalam pilar act, UE mulai membentuk Rapid Deployment Capacity yang terdiri dari hampir 5.000 personel yang siap dikerahkan dalam 30 hari pada berbagai situasi krisis, serta meningkatkan latihan, mobilitas militer, dukungan intelejen, keamanan cyber, dan strategi keamanan ruang angkasa. Melalui langkah-langkah ini, Uni Eropa berupaya untuk menyeimbangkan antara tetap menjadi bagian dari aliansi transatlantik yang digerakkan oleh NATO (dengan dukungan Amerika Serikat) dan membangun kapasitas sendiri agar dapat bertindak mandiri dalam merespons tantangan keamanan masa kini.
Melalui inisiatif-inisiatif tersebut, Uni Eropa berusaha menyeimbangkan antara loyalitas terhadao aliansi transatlantic yang dipimpin oleh NATO dengan keinginan untuk mandiri. Jika dilihat dari sudut pandang yang menekankan pentingnya kerja sama antarnegara melalui lembaga-lembaga internasional (liberal institusionalisme), dinamika interdependensi global ini bukan merupakan hambatan bagi kemandirian Eropa, melainkan peluang untuk menciptakan sinergi. Institusi seperti NATO dan Uni Eropa menjadi wadah kolaborasi yang memperkuat kemandirian eropa sekaligus menjaga solidaritas transatlantic. Alih-alih memisahkan diri dari pengaruh Amerika Serikat, Uni Eropa yang bekerja dalam struktur NATO dapat memanfaatkan kondisi tersebut untuk memanfaatkan aset strategis Amerika Serikat sambil meningkatkan kapabilitasnya sendiri dalam hal politik dan militer. Selanjutnya, melalui inisiatif seperti PESCO dan European Defence Fund, Uni Eropa dapat menggalang proyek bersama antarnegara anggotanya untuk mengisi kekurangan kemampuan militer secara kolektif, bukan secara mandiri penuh. Dengan begitu, perlahan Uni Eropa bisa meningkatkan kapasitasnya, menjaga keseimbangan antara kebergantungan struktural pada NATO dan Amerika Serikat dan dapat mewujudkan kemandirian strategis melalui kerja sama multilateral.
Kemandirian pertahanan Eropa bukan berarti harus memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat, melainkan menyeimbangkan interdependensi yang dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas sendiri sambil tetap mempertahankan sinergi strategis dengan NATO. Langkah-langkah konkret yang dilakukan oleh Uni Eropa dalam beberapa tahun terakhir menegaskan komitmen kawasan ini untuk mencapai otonomi strategis tanpa mengabaikan nilai kemitraan transatlantik. Meskipun jalan menuju kemandirian secara utuh masih panjang, Uni Eropa memiliki peluang yang sangat besar mewujudkannya terutama dengan mengatasi permasalahan internal dan tetap melihat kerja sama global sebagai peluang strategis, bukan penghalang. Eropa dan Amerika Serikat dapat bergerak maju bersama untuk menjadi mitra yang lebih setara dalam menjaga keamanan dan stabilitas dunia.
Penulis: Nazwa Ariella Nasrifa, Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Andalas