5BERITA.COM, JAKARTA — Sejak Reformasi 1998, Indonesia memasuki era baru dalam sistem pemerintahannya dengan mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi secara lebih terbuka. Reformasi telah melahirkan berbagai instrumen politik yang mendorong kebebasan sipil, keterbukaan informasi, serta partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.
Namun, dalam dua dekade terakhir, demokrasi di Indonesia telah menunjukkan dinamika yang fluktuatif, baik dari segi perbaikan institusional maupun kemunduran pada aspek-aspek kebebasan politik. Perubahan regulasi, praktik politik elektoral yang pragmatis, serta pembatasan ruang sipil menjadi sorotan utama dalam melihat masa depan demokrasi Indonesia (Engkus et al., 2021).

Fenomena terkini menunjukkan adanya kecenderungan konsolidasi kekuasaan yang kuat di eksekutif, menurunnya indeks kebebasan sipil, serta berkembangnya politik identitas yang membelah masyarakat. Munculnya berbagai regulasi seperti UU ITE, revisi UU KPK, serta pembatasan terhadap kebebasan berpendapat di ruang digital menimbulkan pertanyaan kritis: apakah demokrasi Indonesia sedang menuju penguatan atau justru mengalami kemunduran.
1. Indikator Kemunduran Demokrasi Indonesia
Salah satu indikator yang mengkhawatirkan adalah menurunnya skor Indeks Demokrasi Indonesia yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Freedom House. Dalam laporan Freedom House tahun 2024, Indonesia hanya mendapatkan skor 58/100, tergolong sebagai negara dengan status “partly free”. Ini menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan satu dekade sebelumnya, ketika Indonesia sempat masuk ke dalam kategori “free”. Penurunan ini didorong oleh praktik pembatasan kebebasan pers, kriminalisasi aktivis, serta pelemahan lembaga-lembaga pengawasan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Revisi Undang-Undang KPK tahun 2019 dianggap sebagai titik balik yang mencerminkan lemahnya komitmen politik terhadap pemberantasan korupsi. Penurunan independensi KPK tidak hanya berdampak pada efektivitas lembaga tersebut, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan politik. Selain itu, Undang-Undang ITE sering digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah, baik oleh warga biasa maupun jurnalis, yang seharusnya mendapat perlindungan dalam negara demokratis.
2. Polarisasi Politik dan Erosi Ruang Publik
Polarisasi politik di Indonesia semakin tampak terutama dalam konteks pemilihan umum. Politik identitas berbasis agama, etnis, dan ideologi semakin digunakan sebagai strategi elektoral, yang menciptakan fragmentasi sosial dan menurunkan kualitas deliberasi demokratis. Wacana kebangsaan dan perbedaan pendapat tidak lagi ditanggapi secara sehat dalam diskursus publik, melainkan sering kali ditanggapi dengan ujaran kebencian dan serangan personal, terutama di media sosial.
Situasi ini diperparah dengan berkembangnya buzzer politik yang berfungsi memperkuat narasi penguasa dan menyerang pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Kebebasan berekspresi sebagai salah satu pilar utama demokrasi terancam oleh algoritma digital dan politik siber yang tidak sehat. Padahal, partisipasi publik dan kebebasan informasi merupakan fondasi untuk membangun demokrasi yang substantif (Febriandy & Wahid, 2024).
3. Konsolidasi Kekuasaan dan Oligarki Politik
Demokrasi di Indonesia juga menghadapi tantangan dari sisi struktural, yakni menguatnya praktik oligarki politik, di mana kekuasaan dan pengaruh ekonomi terpusat pada segelintir elite. Praktik ini menciptakan hambatan terhadap regenerasi kepemimpinan politik yang sehat dan kompetitif. Sistem pemilu yang sangat mahal mempersempit akses warga negara biasa untuk berpartisipasi secara setara dalam kontestasi politik, sehingga memperkuat dominasi kelompok-kelompok berkepentingan.
Fenomena penggabungan partai politik ke dalam koalisi besar yang mendukung pemerintah, bahkan sebelum pemilu, menjadi indikasi lemahnya oposisi politik dan kecenderungan homogenisasi kekuasaan. Dalam jangka panjang, ini dapat memunculkan demokrasi elektoral tanpa oposisi efektif, yang hanya bersifat prosedural tetapi minim akuntabilitas substantif.
4. Tanda-Tanda Perlawanan Sipil dan Peluang Perbaikan
Meski menghadapi banyak tantangan, tidak sedikit pula inisiatif masyarakat sipil yang terus menyuarakan nilai-nilai demokrasi. Gerakan mahasiswa, LSM, jurnalis independen, hingga komunitas digital berperan penting dalam menjaga ruang-ruang demokrasi yang masih tersisa. Aksi-aksi penolakan terhadap pelemahan KPK, demonstrasi menentang UU Cipta Kerja, serta kritik terhadap pasal-pasal represif dalam KUHP menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya pasif.
Di sisi lain, reformasi digital dan keterbukaan data memberikan harapan baru. Partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan, seperti melalui platform digital untuk petisi atau pelaporan kasus pelanggaran HAM, menandakan adanya potensi untuk memperluas demokrasi partisipatoris berbasis teknologi. Namun demikian, tanpa dukungan regulasi yang progresif dan komitmen elite politik, inisiatif ini rentan tereduksi menjadi simbolis semata (As’ad et al., 2023).
Melihat dinamika politik terkini, masa depan demokrasi Indonesia berada di persimpangan yang genting. Di satu sisi, terdapat kemajuan berupa partisipasi publik yang makin aktif dan transformasi digital yang membuka akses informasi. Namun di sisi lain, terdapat sinyal-sinyal kemunduran yang serius seperti pelemahan institusi pengawasan, pembatasan ruang sipil, dan konsolidasi kekuasaan politik yang minim akuntabilitas.
Demokrasi Indonesia tidak akan otomatis tumbuh tanpa komitmen dari semua elemen bangsa. Masa depan demokrasi sangat bergantung pada keberanian publik untuk mengkritik dan mendorong perubahan, serta integritas elite politik dalam memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kekuasaan semata. Demokrasi yang kuat bukanlah soal prosedur pemilu semata, melainkan keberlanjutan budaya politik yang menjamin keadilan, kebebasan, dan keterbukaan dalam setiap lapisan kehidupan berbangsa dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, M. U., Barsihanor, B., Sobirin, S., & Hergianasari, P. (2023). Oligarki dan Jaringan Patronase: Dinamika Kebijakan Pertambangan Batu Bara di Kabupaten Tanah Bumbu. Deleted Journal, 14(1), 1–17. https://doi.org/10.14710/politika.14.1.2023.1-17
Engkus, N., Azan, N. a. R., Hanif, N. A., & Fitr, N. a. T. (2021). MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI PELAYANAN PUBLIK. Deleted Journal, 19(1), 39–46. https://doi.org/10.54783/dialektika.v19i1.62
Febriandy, R. K., & Wahid, U. (2024). Kemunduran Demokrasi Di Indonesia: Analisis Laporan Varieties of Democracy (V-Dem) Institute 2024. Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Riset Sosial Humaniora (KAGANGA), 7, 1041-50.
Penulis: Wahyu Prasetia Ningrum (1401422082), Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta.