Skripsi, Kopi, dan Mie: Trinity Penyebab Generasi Gastritis

Gastritis - Pura+ | Ortopedia Fisioterapia Salud Belleza
Seorang wanita yang sakit dengan pakaian rumah berwarna abu-abu duduk di tempat tidur, dengan tangan di atas perut. (Dok. Puramas.co)

5BERITA.COM — Di tengah deretan deadline, tumpukan revisi, dan tekanan akademik yang tak kunjung usai, generasi muda khususnya mahasiswa kerap menjadikan skripsi, kopi, dan mie instan sebagai tritunggal penyelamat yang seolah tak tergantikan. Skripsi menjadi sumber stres tiada henti, kopi berperan sebagai penopang energi di kala begadang, sementara mie instan hadir sebagai solusi instan ketika waktu dan budget terbatas. Namun, di balik peran “penyelamat”-nya, ketiganya justru membentuk lingkaran setan yang diam-diam menggerogoti kesehatan lambung.

Kombinasi stres berkepanjangan, asupan kafein berlebihan, dan pola makan minim gizi ini menjadi pemicu utama gastritis (radang lambung) masalah yang semakin banyak dialami mahasiswa dan anak muda zaman sekarang. Gejalanya sering diabaikan, mulai dari nyeri ulu hati, mual, hingga kembung, seolah dianggap sebagai konsekuensi wajar dari kehidupan akademik yang padat. Padahal, jika dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan pencernaan kronis yang mengganggu produktivitas jangka panjang. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana skripsi, kopi, dan mie instan bekerja sama merusak lambung, sekaligus memberikan solusi praktis untuk memutus rantai gastritis tanpa mengorbankan tuntutan studi. Sebab, menjadi produktif tak harus dibayar dengan sakit kesehatan lambungmu adalah aset berharga yang wajib dijaga!

Gastritis merupakan kondisi peradangan pada mukosa lambung yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan histologis, meskipun dalam banyak kasus pasien mungkin tidak menunjukkan gejala yang jelas, sehingga sering disebut sebagai silent inflammation.[1] Salah satu penyebab utama gastritis adalah infeksi bakteri Helicobacter pylori, patogen yang mampu bertahan dalam lingkungan asam lambung dengan menetralkan sekresi asam melalui enzim urease, sehingga memicu respons peradangan kronis. Selain H. pylori, faktor lain seperti penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dalam jangka panjang, konsumsi alkohol berlebihan, stres psikologis, dan pola makan tidak teratur juga berkontribusi terhadap kerusakan lapisan lambung.

Jika tidak ditangani, gastritis dapat berkembang menjadi komplikasi serius, termasuk tukak peptik, perdarahan saluran cerna, dan bahkan peningkatan risiko kanker lambung pada kasus gastritis atrofi kronis. Oleh karena itu, deteksi dini melalui pemeriksaan endoskopi dan tes H. pylori sangat penting, terutama pada individu dengan faktor risiko tinggi, meskipun gejala belum muncul. Penanganan gastritis tidak hanya berfokus pada pemberian antibiotik (untuk infeksi H. pylori) atau penghambat asam lambung, tetapi juga melibatkan modifikasi gaya hidup untuk mencegah kekambuhan dan kerusakan lebih lanjut pada mukosa lambung.

Pola makan merupakan fondasi penting yang menentukan status gizi seseorang, namun sayangnya sering diabaikan oleh mahasiswa, terutama saat tenggelam dalam tekanan penyusunan skripsi.[2] Penyusunan skripsi seringkali menjadi periode kritis yang mengubah pola hidup mahasiswa secara drastis, termasuk dalam hal kebiasaan makan. Tekanan deadline, kecemasan menghadapi bimbingan, dan jam kerja yang panjang menyebabkan banyak mahasiswa mengabaikan jadwal makan yang teratur. Saat fokus tertuju pada penyelesaian bab analisis atau revisi metodologi, waktu makan siang atau malam sering kali terlupakan atau sengaja dilewatkan.

Kondisi perut kosong dalam waktu lama ini memicu peningkatan produksi asam lambung yang tidak diimbangi dengan adanya makanan untuk dicerna, sehingga asam tersebut mulai mengiritasi dinding lambung. Selain itu, stres psikologis yang menyertai proses penyusunan skripsi merangsang sistem saraf simpatik yang justru memperparah sekresi asam lambung. Kombinasi antara pola makan tidak teratur dan stres akademik inilah yang menciptakan lingkungan ideal untuk berkembangnya gastritis. Parahnya, ketika gejala gastritis mulai muncul seperti nyeri ulu hati atau mual produktivitas dalam menyelesaikan skripsi justru semakin menurun, menciptakan siklus negatif yang sulit diputus. Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara keberhasilan akademik dalam menyelesaikan skripsi dengan manajemen kesehatan, khususnya dalam menjaga pola makan yang baik selama masa penyusunan tugas akhir.

Penyusunan skripsi tidak hanya mengacaukan pola makan mahasiswa, tetapi juga mendorong kebiasaan mengonsumsi kopi secara berlebihan yang semakin memperparah risiko gastritis. Kopi menjadi bahan bakar wajib saat begadang menyelesaikan bab-bab skripsi, terutama ketika deadline menghantui. Kandungan kafein dalam kopi bersifat merangsang produksi asam lambung berlebih, dan ketika dikonsumsi dalam keadaan perut kosong seperti saat mahasiswa melewatkan makan karena fokus mengetik asam tersebut mengikis lapisan pelindung lambung.

Efek diuretik kafein juga memperburuk kondisi dengan menyebabkan dehidrasi yang mengurangi produksi mucus lambung, lapisan pelindung alami dari asam. Parahnya, kebiasaan ini sering dibarengi dengan merokok atau konsumsi makanan instan, menciptakan trifecta perusak lambung. Padahal, dalam jangka panjang, iritasi berulang ini tidak hanya memicu gastritis akut tetapi juga meningkatkan risiko tukak lambung dan gangguan pencernaan kronis.

HD wallpaper:
Secangkir kopi di atas meja di kafe. (Dok. wallpaperflare.com)

Data penelitian mengonfirmasi betapa signifikannya pengaruh kopi terhadap gastritis. Sebanyak 98% peminum kopi rutin mengalami gejala gastritis, sementara 89.5% yang jarang mengonsumsinya juga tetap berisiko menunjukkan bahwa meskipun kopi bukan satu-satunya faktor, ia merupakan katalisator utama. Kafein tidak hanya merangsang produksi asam lambung berlebih, tetapi juga menyebabkan penumpukan gas yang memicu kembung dan nyeri ulu hati. Yang lebih mengkhawatirkan, peminum kopi memiliki risiko 3.57 kali lebih tinggi terkena gastritis dibandingkan yang jarang mengonsumsinya.[3] Angka ini semakin relevan bagi mahasiswa penyusun skripsi yang cenderung mengabaikan tanda-tanda awal gastritis seperti mual atau perut kembung karena dianggap sebagai efek samping wajar dari begadang akademik. Temuan ini menegaskan bahwa meskipun kopi membantu menjaga kewaspadaan, pengaturannya harus dibarengi dengan kesadaran akan dampak kumulatifnya terhadap kesehatan lambung.

Pola makan tidak sehat, seperti mengandalkan mie instan dan junk food, telah menjadi tren yang mengkhawatirkan di kalangan remaja dan mahasiswa, terutama karena alasan kepraktisan dan keterjangkauan harganya. Mie instan, yang sering dijadikan pilihan utama saat waktu makan terbatas ternyata menyimpan ancaman serius bagi kesehatan lambung. Kandungan pengawet, monosodium glutamat (MSG), serta kadar garam yang tinggi dalam mie instan bersifat mengiritasi dinding lambung, sementara lemak jenuh dan karbohidrat olahan yang sulit dicerna memperberat kerja sistem pencernaan. Natrium dalam bumbu mie instan tidak hanya memicu peningkatan produksi asam lambung, tetapi juga dapat menyebabkan retensi cairan dan tekanan darah tinggi jika dikonsumsi berlebihan.

Selain itu, minimnya serat dan protein dalam mie instan menciptakan defisit gizi yang berdampak pada menurunnya daya tahan tubuh dan energi yang justru dibutuhkan mahasiswa untuk tetap produktif. Kebiasaan ini, jika terus berlanjut, tidak hanya berpotensi menyebabkan gastritis akut, tetapi juga masalah kesehatan jangka panjang seperti obesitas, hipertensi, dan gangguan metabolisme. Ironisnya, di balik kepraktisannya, mie instan justru menjadi bumerang yang menggerogoti kesehatan pelajar dan mahasiswa yang seharusnya membutuhkan asupan bergizi untuk mendukung aktivitas akademik yang padat.

Jadi, skripsi emang bikin stres, kopi jadi lifesaver buat begadang, dan mie instan tuh kayak bestie pas dompet lagi kering. Tapi ternyata, trio ini malah jadi silent killer buat lambung kita! Gastritis nggak cuma bikin perut mules, tapi juga ngerusak produktivitas kita buat ngejar deadline. Data bahkan nunjukin 98% peminum kopi rutin kena gastritis, itu artinya risiko kita tinggi banget, apalagi kalau ditambah pola makan berantakan dan stres akademik yang nggak ada habisnya. Intinya, hidup sehat itu nggak harus mahal, tapi kalau diabaikan, bisa bikin kita drop di saat-saat paling krusial.

Yuk, mulai rebranding gaya hidup kita! Ganti kopi berlebihan dengan teh herbal atau air putih yang lebih gentle buat lambung. Mie instan boleh sekali-sekali, tapi jangan dijadikan menu harian coba meal prep sederhana seperti oatmeal atau telur rebus yang lebih bergizi. Atur jadwal makan se-strict jadwal bimbingan skripsi, dan jangan lupa self-care biar stres nggak numpuk. Ingat, skripsi bisa kelar, tapi lambung yang rusak bakal bikin kita suffer jangka panjang. Stay healthy, stay productive, biar lulus bukan cuma bawa gelar, tapi juga badan yang fit!

  1. Estiningsih Ayu Andriani et al., “Kebiasaan Sarapan Pagi Dan Konsumsi Kopi Terhadap Risiko Gejala Gastritis” 18, no. 11 (2025): 1385.
  2. Salsabila Ivanka and Yuni Susilowati, “Pengaruh Pola Makan Dan Stres Akademik Terhadap Kejadian Gastritis Pada Mahasiswa Di Era Pandemi Covid-19 Di Universitas Yatsi Madani Tahun 2022,” Nusantara Hasana Journal 2, no. 8 (2023): 148.
  3. Andriani et al., “Kebiasaan Sarapan Pagi Dan Konsumsi Kopi Terhadap Risiko Gejala Gastritis.”

Penulis: Intan Indriany

Editor: Nur Ardi, Tim 5Berita.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *