Apa Itu Garis Kemiskinan Menurut BPS?
Pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa masyarakat dengan pengeluaran harian di atas Rp20.000 per hari tidak tergolong miskin telah memicu perdebatan publik. Banyak pihak menilai batas kemiskinan Indonesia ini terlalu rendah dan tidak sesuai realitas biaya hidup.
Namun, data tersebut merujuk pada standar garis kemiskinan nasional BPS yang dihitung berdasarkan kebutuhan minimum makanan dan non-makanan per kapita.
Mengapa Rp20.000 Jadi Patokan Batas Kemiskinan Indonesia?
Angka Rp20.000 per hari bukan berarti penghasilan, melainkan indikator rata-rata pengeluaran masyarakat miskin di Indonesia. BPS menggunakan pendekatan statistik ilmiah untuk menilai apakah individu mampu memenuhi kebutuhan dasar. Jadi, bukan berarti orang dengan penghasilan di atas itu otomatis sejahtera, melainkan cukup untuk hidup minimum.
Peran Statistik dalam Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
Perlu disadari bahwa BPS tidak membuat kebijakan, melainkan menyediakan data kemiskinan Indonesia yang jadi dasar berbagai program seperti bansos dan Bantuan Langsung Tunai. Pemahaman keliru terhadap data dapat menimbulkan mispersepsi publik dan menyulitkan proses evaluasi kebijakan berbasis data.
Literasi Data: Kunci Kritik yang Lebih Cerdas
Sebagai masyarakat, kita berhak mengkritik, namun harus dibarengi dengan literasi statistik. Kritik terhadap angka pengeluaran minimum seharusnya tidak hanya bersifat emosional, tapi juga menyasar pada akurasi kebijakan dan relevansi data lokal. Artikel dari The Conversation Indonesia bahkan menyoroti pentingnya pembacaan data kontekstual dalam mengukur kemiskinan di negara berkembang.
Mendorong Dialog Kritis dan Terbuka
Isu kemiskinan statistik ini seharusnya jadi peluang membangun dialog publik yang sehat. Mari gunakan momentum ini untuk memperkuat pemahaman publik tentang penghitungan garis kemiskinan, bukan hanya sekadar merespons viralnya pernyataan pengeluaran Rp20.000. Keterlibatan aktif masyarakat yang memahami data dapat menjadi landasan pengawasan dan dorongan perubahan kebijakan ke arah yang lebih adil.
Kesimpulan: Data Harus Dipahami, Bukan Dicemooh
Angka bukan musuh. Ia adalah alat. Selama data seperti batas kemiskinan versi BPS digunakan dengan konteks yang tepat, ia bisa jadi dasar transformasi sosial. Kita perlu membaca data, bukan membakar opini.
Penulis: Akmal Fatih Seif Aldien, Mahasiswa Magang di Biro Humas BPS RI