5BERITA.COM, JAKARTA — Apakah anda pernah membayangkan berselancar di media sosial tanpa terpapar hoaks? rasanya seperti mustahil terutama di era digital seperti sekarang, saat ini hoaks sudah menyebar di tiap sudut, tidak hanya di Indonesia, namun seluruh dunia mengalaminya.
Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan AI telah menghasilkan banyak teknik untuk menghasilkan gambar yang realistis secara visual. Teknologi AI memiliki banyak kegunaan yang bermanfaat. Namun di sisi lain, AI melalui DeepFake dapat dijadikan senjata dan menimbulkan ancaman yang signifikan di berbagai dimensi masyarakat, termasuk keamanan pribadi, proses demokrasi, sektor ekonomi, dan integritas media digital.
Istilah “deepfake” menjadi populer di tahun 2017 oleh seorang moderator Reddit menggunakan nama samaran, mendirikan sebuah forum bagi para pengguna untuk bertukar pornografi deepfake menggunakan foto-foto selebritas dan teknologi penukaran wajah. Meskipun forum yang tersebut telah dihapus, kata deepfake tetap bertahan sebagai label baru untuk jenis media yang dihasilkan oleh AI.
Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan AI telah menghasilkan banyak teknik untuk menghasilkan gambar yang realistis secara visual. Teknologi AI memiliki banyak kegunaan yang bermanfaat. Contohnya termasuk komunikasi imersif (misalnya Apple Vision Pro) dan streaming video yang lebih cepat (misalnya Nvidia Maxine), dapat mengurangi biaya dalam industri film dan iklan, dan upaya rehabilitasi untuk korban stroke dan individu dengan gangguan pendengaran.
Contoh dari penyebaran hoax melalui DeepFake adalah video seorang politisi terlibat dalam kegiatan yang tidak pantas atau mungkin cukup untuk mempengaruhi pemilihan umum, menggunakan wajah manusia realistis sebagai foto profil untuk akun platform sosial palsu dapat secara signifikan meningkatkan efek penipuan.
Contoh lainnya yang mempengaruhi politik suatu negara adalah pada bulan Juni 2019, sebuah video kontroversial beredar di Malaysia mengenai Menteri Ekonomi Malaysia yang terlibat dalam hubungan fisik dengan seorang ajudan. Meskipun sang ajudan mengakui keaslian video tersebut, menteri dan sekutu politiknya mengklaim bahwa video tersebut telah direkayasa dengan menggunakan DeepFake, yang menunjukkan potensi politik yang jahat sebagai bentuk baru fitnah politik atau sebagai mekanisme baru untuk mengaburkan kebenaran.
Satu tahun kemudian, pada 2020, Extinction Rebellion Belgium merilis video palsu yang menampilkan Perdana Menteri Belgia Sophie Wilmès, yang tampaknya menghubungkan penyebaran COVID-19 dengan krisis ekologi yang tidak terkendali. Kelompok ini menggunakan cuplikan yang diambil dari pidatonya tentang pandemi dan membuat pidato palsu yang serupa dengan naskah yang ditulis oleh Extinction Rebellion. Meskipun deepfake secara transparan, contoh ini menunjukkan bagaimana aktor jahat dapat menggunakan teknologi deepfake untuk mempromosikan penyebaran informasi yang salah.
Kemudian, pada bulan Maret 2022, tak lama setelah Rusia memulai invasi ke Ukraina, masyarakat Ukraina terkejut melihat video presiden mereka, Volodymyr Zelensky, mendesak militer untuk melakukan gencatan senjata dan menyerah. Ketika video tersebut tersebar di media sosial, juru bicara Zelensky menyangkal hal tersebut. Diketahui bahwa video tersebut dibuat dengan teknologi DeepFake oleh propagandis Rusia, hal ini menjadi contoh ekstrim penggunaan DeepFake dalam perang dan mempengaruhi suatu negara.
Deepfake semakin merajalela sehingga dibutuhkan berbagai cara untuk dapat memeranginya. Dalam level makro, pendekatan multidisipliner digunakan untuk memerangi Deepfake, berbagai sektor seperti pemerintah internasional, nasional, perusahaan swasta, dan organisasi lainnya sangat penting untuk melindungi masyarakat dari informasi palsu. Bagi para pembuat kebijakan dan pejabat negara, DeepFake merupakan tantangan yang sangat sulit. Mengingat pentingnya lingkungan informasi yang terpercaya bagi masyarakat, pemerintah pada umumnya juga harus waspada terhadap DeepFake yang mengancam untuk merusak kepercayaan tersebut.
Beberapa negara sudah mulai membuat kebijakan untuk menghadapi bahaya Artificial Intelligence dan DeepFake seperti pada bulan Juni 2023, Uni Eropa mengambil langkah pertama untuk membuat kesepakatan sementara tentang undang-undang AI pertama di dunia. Undang-undang ini akan mengatur transparansi sehingga pengguna tahu kapan mereka mengonsumsi konten yang dihasilkan oleh AI. Di Inggris, RUU Kecerdasan Buatan (Regulasi) sedang dalam proses pembahasan di parlemen.
Dalam level nasional, regulasi mengenai Deepfake juga telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 Pasal ke-35 tentang informasi dan transaksi elektronik, dan UU Nomor 27 Tahun 2022 Pasal ke-66 tentang perlindungan data pribadi. Komdigi juga berkerja sama dengan Direktorat Tindak Pidana Siber Polri untuk memberantas Deepfake seperti pada saat masa pemilu.
Perusahaan-perusahaan teknologi juga telah meluncurkan upaya mereka sendiri untuk mengekang penyebaran misinformasi pemilu di platform mereka. Pada tahun 2024, TikTok, X, dan Meta menandatangani perjanjian untuk “memerangi penipu yang menggunakan Artificial Intelligence pada pemilu 2024”. Perjanjian tersebut mewajibkan mereka untuk mengembangkan cara-cara untuk mendeteksi dan memberi label pada konten yang dihasilkan oleh AI.
Selain itu, Meta telah menyetujui serangkaian iklan politik yang dimanipulasi oleh AI selama pemilihan umum di India yang menyebarkan disinformasi dan menghasut kekerasan agama. Sangat penting bagi regulator untuk dapat mengimbangi strategi penipuan dan gangguan yang menyebar dengan cepat. Apapun hasilnya, hal ini dapat membawa implikasi yang sangat besar bagi masa depan demokrasi global.
Dalam level individu, masyarakat perlu meningkatkan etika komunikasi dan literasi secara digital dalam memerangi hoax Deepfake. Etika komunikasi adalah bagaimana seorang individu berkomunikasi dengan cara yang bermoral dan bertanggung jawab. Etika komunikasi melibatkan kejujuran, integritas, rasa hormat, dan keadilan untuk dapat membangun kepercayaan & meningkatkan kredibilitas.
Sedangkan literasi digital adalah suatu skill yang dimiliki individu ketika berselancar di dalam dunia digital. Tingkat literasi digital yang rendah akan berdampak pada cara individu yang sulit mengidentifikasi keakuratan informasi, menyortir kontroversi, menyadari konten satir, dan mengembangkan cara pandang yang lebih luas.
Deepfake merupakan senjata terobosan yang sangat membantu di era digital seperti saat ini, namun Deepfake juga dapat menjadi senjata bermata dua jika tidak digunakan secara bijak. Persebaran hoax yang menggunakan Deepfake juga semakin merajalela, maka dari itu diperlukan gerakan dari semua lapisan masyarakat agar dapat memerangi hoax tersebut. Dimulai dari level internasional, nasional, hingga individu perlu menyadari dan bergerak untuk menciptakan dunia digital yang aman dan kondusif.
Penulis: Jessica Elvira Sinurat