5BERITA.COM, JAKARTA —Dalam lima tahun terakhir, laporan kasus kekerasan digital seperti doxing, perundungan daring, hingga penyebaran konten tanpa izin mengalami lonjakan signifikan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat lebih dari 1.200 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) terjadi hanya sepanjang 2023.
Kasus kekerasan berbasis siber di Indonesia terus meningkat, namun upaya penegakan hukum melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) justru menuai kritik. Banyak pihak menilai sejumlah pasalnya masih bersifat multitafsir dan berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
Sayangnya, perlindungan hukum yang tersedia saat ini dinilai belum cukup memadai. UU ITE yang selama ini menjadi landasan hukum justru kerap disorot karena beberapa pasalnya dianggap sebagai “pasal karet” yang bisa disalahgunakan.
“Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, misalnya, sering digunakan untuk membungkam kritik atau ekspresi di ruang digital. Ini menimbulkan ketakutan di masyarakat untuk menyampaikan pendapat,” kata Nurina Savitri, Direktur Advokasi Amnesty International Indonesia, saat dihubungi Kamis (19/6).
Ia menambahkan, dalam beberapa kasus, korban KBGO justru mengalami reviktimisasi saat melapor. Alih-alih mendapatkan keadilan, mereka malah dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE.
Pemerintah sendiri telah merespons kekhawatiran ini dengan menyusun revisi terbatas terhadap UU ITE. Namun sejumlah aktivis menilai revisi tersebut belum menyentuh akar permasalahan.
“Revisi hanya memperhalus redaksi, tapi substansi pasalnya tetap problematik. Harus ada upaya serius untuk menyusun aturan yang benar-benar melindungi hak korban dan kebebasan sipil,” ujar Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Di sisi lain, Kepolisian RI menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan pelatihan khusus terhadap aparat penegak hukum agar tidak gegabah dalam menerapkan UU ITE. “Kami menerima banyak laporan setiap harinya. Penilaian atas motif dan dampak dari pelanggaran digital dilakukan secara hati-hati,” kata Brigjen Pol. Adi Vivid Agustiadi Bachtiar, Dirtipidsiber Bareskrim Polri.
Namun pengawasan terhadap implementasi hukum ini tetap diperlukan, terutama karena ruang digital kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Dengan meningkatnya aktivitas masyarakat di ranah digital, tantangan hukum siber menjadi isu yang tak bisa diabaikan. Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan korban kekerasan digital harus seimbang. Revisi menyeluruh terhadap UU ITE menjadi langkah penting agar hukum di dunia maya tak justru menjadi alat represi.
Penulis: Aqilla Reztra Dawanas