UMKM Cemas! Kenaikan PPN dari 11% jadi 12% pada Tahun 2025, Apakah Berdampak bagi Para Pelaku UMKM? 

Ilustrasi kenaikan pajak (FlyFin Inc/Pixabay)

5BERITA.COM, JAKARTA — Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025 menjadi topik yang hangat diperbincangkan saat ini. Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan memperkuat struktur fiskal.

Namun, kebijakan ini menimbulkan berbagai kekhawatiran, terutama bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.

Dengan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja, UMKM menjadi sektor yang sangat rentan terhadap perubahan kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN.

Salah satu dampak paling nyata dari kenaikan tarif PPN ini adalah peningkatan biaya operasional bagi UMKM. Banyak pelaku UMKM yang bergantung pada bahan baku atau jasa yang dikenakan PPN.

Kenaikan tarif ini tentu saja akan meningkatkan harga bahan baku yang mereka beli, sehingga secara langsung menaikkan biaya produksi. Hal ini dapat mengurangi margin keuntungan yang sudah tipis, terutama bagi UMKM yang bersaing dalam pasar dengan tingkat persaingan harga yang ketat.

Misalnya, pelaku usaha makanan dan minuman yang harus membeli bahan baku dari distributor besar akan mengalami lonjakan biaya yang sulit dihindari.

Tak hanya itu, kenaikan PPN berpotensi menurunkan daya beli konsumen. Ketika tarif PPN meningkat, harga barang dan jasa yang dijual di pasar kemungkinan besar akan cenderung ikut naik. dampaknya, para konsumen mungkin akan lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang mereka, terutama untuk barang atau jasa yang dianggap tidak memiliki nilai.

UMKM yang bergerak di sektor seperti fasion, kerajinan, dan hiburan bisa merasakan dampak ini secara langsung. Penurunan daya beli konsumen dapat menyebabkan penurunan jumlah penjualan, yang pada akhirnya juga menyebabkan pendapatan pelaku usaha micro menurun.

Selain itu, kenaikan tarif PPN juga dapat memengaruhi daya saing UMKM. Dengan kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli konsumen, UMKM harus berusaha lebih keras untuk tetap kompetitif di pasar. Kondisi ini akan semakin sulit jika dibandingkan dengan perusahaan besar yang memiliki sumber daya lebih untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kebijakan.

Perusahaan besar mungkin dapat menyerap kenaikan biaya ini atau bahkan mengalihkan sebagian biaya kepada konsumen, sementara bagi para pelaku UMKM sering kali tidak memiliki fleksibilitas dalam hal tersebut.

Di sisi lain, pemerintah telah memberikan pernyataan bahwa kenaikan PPN ini tidak akan berdampak secara langsung bagi para pelaku UMKM. Menteri Keuangan dan beberapa legislator memastikan bahwa UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun tetap akan mendapatkan insentif berupa tarif Pajak Penghasilan (PPh) final yang lebih rendah, yaitu sebesar 0,5%.

Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan ruang bagi UMKM untuk tetap tumbuh di tengah kenaikan tarif PPN. Namun, implementasi kebijakan ini perlu diawasi dengan ketat agar benar-benar memberikan dampak positif bagi pelaku UMKM. Perlu ada kejelasan dalam mekanisme pengenaan PPN sehingga para pelaku UMKM tidak terbebani secara langsung oleh kenaikan tarif ini.

Meski demikian, tidak semua pelaku UMKM memahami atau memiliki akses yang memadai untuk memanfaatkan insentif-insentif ini. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi UMKM adalah keterbatasan informasi dan literasi keuangan. Banyak pelaku usaha kecil yang tidak sepenuhnya memahami bagaimana kebijakan fiskal, seperti kenaikan PPN, dapat memengaruhi bisnis mereka.

Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang masif dan menyeluruh untuk memastikan bahwa pelaku UMKM memahami kebijakan ini dan dapat mengambil langkah mitigasi yang tepat. bagi UMKM, ada beberapa strategi yang dapat diambil untuk menghadapi kenaikan tarif PPN ini.

Pertama, pelaku UMKM perlu meningkatkan efisiensi operasional dengan menekan biaya produksi. Misalnya, mereka dengan mencari alternatif bahan baku yang lebih terjangkau atau bekerja sama dengan pemasok untuk mendapatkan harga yang lebih kompetitif.

Kedua, pelaku usaha dapat meningkatkan nilai tambah produk atau layanan mereka. Dengan menawarkan produk yang lebih inovatif dan berkualitas, jadi mereka dapat tetap menarik konsumen meskipun harga mengalami kenaikan.

Selain itu, Pelaku UMKM juga dapat memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi dengan jangkauan pasar yang lebih luas. Platform digital seperti e-commerce dan media sosial dapat membantu UMKM menjangkau lebih banyak konsumen dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan metode pemasaran tradisional. Teknologi juga memungkinkan pelaku usaha untuk mengoptimalkan operasional mereka, seperti melalui penggunaan perangkat lunak akuntansi atau manajemen inventaris yang lebih efisien.

Selain itu pemerintah juga perlu berperan aktif dalam memberikan dukungan kepada para pelaku UMKM. Selain insentif pajak, program pelatihan dan pendampingan yang berfokus pada peningkatan kapasitas pelaku UMKM sangat penting.

Pemerintah dapat bekerja sama dengan institusi pendidikan, lembaga keuangan, dan organisasi non-pemerintah untuk memberikan pelatihan tentang manajemen bisnis, pemasaran, dan penggunaan teknologi. Dengan dukungan yang tepat, UMKM dapat lebih siap menghadapi tantangan yang timbul akibat kenaikan tarif PPN ini.

Secara keseluruhan, kenaikan tarif PPN menjadi tantangan yang tidak dapat diabaikan oleh pelaku UMKM maupun pemerintah. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, dampaknya terhadap sektor UMKM perlu diperhatikan dengan serius.

Dengan kontribusinya yang signifikan terhadap perekonomian nasional, UMKM harus dilindungi agar tetap dapat beroperasi dan berkembang di tengah perubahan kebijakan fiskal, karna UMKM merupakan tulung punggung ekonomi negara ini. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak justru menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi, melainkan sebuah langkah menuju stabilitas ekonomi negara indonesia.

Penulis: Riduan Ali Salami, Mahasiswa Institut Agama Islam Tazkia

Editor: Nur Ardi, Tim 5Berita.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *