#KaburAjaDulu Katanya Enak, Kenyataannya? Kuliah di Rusia Bikin Nyerah

Andi Bintang di Saint Petersburg (Dok. Istimewa)

5BERITA.COM, RUSIA – Saint Petersburg, Impian kuliah di luar negeri kerap dipandang sebagai pencapaian istimewa dan peluang emas bagi generasi muda Indonesia. Baru-baru ini, muncul fenomena di media sosial dengan tagar #KaburAjaDulu, semacam ajakan bagi anak muda untuk meninggalkan Indonesia dan mencari “hidup baru” di luar negeri.

Tagar tersebut ramai digunakan dalam konteks keinginan meninggalkan tekanan ekonomi, situasi politik, hingga sistem pendidikan nasional yang dianggap mengecewakan. Namun, apakah hidup di luar negeri seindah yang dibayangkan? Apakah sistem pendidikan di luar benar-benar ideal?

Salah satunya adalah pengalaman Andi Bintang Mapparennu, mahasiswa asal Indonesia yang tengah menempuh pendidikan jurusan Bisnis Perdagangan di Universitas Polytech Saint Petersburg Petra Velikovo, Rusia. Berkat beasiswa yang ia raih, Bintang berangkat ke Rusia dengan semangat petualangan dan rasa ingin tahu yang besar. Tapi, ia menemukan bahwa tantangan sesungguhnya justru dimulai begitu ia masuk ruang kuliah.

1. Beasiswa Menarik, Tapi Sistem Pendidikan Rusia Sangat Ketat

Beasiswa ke Rusia memang tergolong lebih terbuka dibanding negara besar lain seperti Amerika atau Inggris. Pemerintah Rusia memiliki beberapa program beasiswa unggulan seperti Open Doors, jalur langsung ke kampus, hingga kerja sama pendidikan kebudayaan (PKR), yang memberikan peluang baik bagi para pelajar di Indonesia. Ketersediaan beasiswa ini membuat Rusia menjadi pilihan alternatif yang menarik, terutama pelajar Indonesia yang ingin mencoba sistem pendidikan di luar pakem Barat. Andi Bintang sendiri mengatakan bahwa proses beasiswa cukup mudah dan terjangkau dalam segi administrasi.

“Kalau mau kuliah ke Rusia, tinggal apply beasiswa. Kalau gak salah ada tiga jalur: jalur langsung kampus, PKR, Open Doors,” ujarnya.
“Beasiswa ke Rusia itu nggak terlalu sulit untuk didapat dibanding negara besar lain, Cuma ya tantangan berikutnya itu bahasa yang harus dikuasai dengan baik.”

Tetapi setelah lolos dan resmi menjadi mahasiswa di Rusia, realitas sistem pendidikan di sana sangat berbeda dengan di Indonesia, di mana mereka mengharuskan para pelajar asing untuk beradaptasi dengan cepat.

“Sebetulnya sama saja sih, Cuma beda di bahasa yang digunakan, biasanya bahasa Rusia atau Inggris. Tapi yang paling menonjol perbedaannya adalah, nggak ada sistem SKS,” jelas Bintang saat dihubungi lewat WhatsApp.

“Nggak ada istilah nambah semester kalau nggak lulus satu atau dua mata kuliah setelah tiga kali nyoba, langsung di-DO (drop out).”

Artinya, tidak ada ruang untuk mengulang-ulang mata kuliah seperti di Indonesia. Mahasiswa yang gagal tiga kali dalam satu mata kuliah secara otomatis dikeluarkan dari universitas. Sistem ini sangat menuntut kedisiplinan dan pemahaman akademik yang tinggi, serta kesiapan mental sejak awal. Kondisi seperti ini sering sekali mengejutkan mahasiswa Indonesia yang terbiasa dengan sistem pendidikan dalam negeri yang fleksibel. Mahasiswa perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang sistem karena tidak sedikit dari mereka yang akhirnya kewalahan dan gagal menyelesaikan studi.

2. Bahasa dan Pergaulan: Kunci Bertahan di Negeri Orang

Selain sistem akademik yang ketat, mahasiswa Indonesia juga harus berjibaku dengan tantangan lain yang tak kalah berat: bahasa dan budaya.

“Kalau buat aku, yang paling berat itu bahasa yang dipakai pas belajar, soalnya banyak banget kosakata barunya,” tutur Bintang.

Meskipun beberapa universitas menawarkan kelas bahasa Rusia untuk pemula, proses adaptasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Alfabet dan struktur bahasa Rusia sangat berbeda dari Bahasa Indonesia maupun Inggris. Istilah-istilah teknis dalam dunia akademik juga tidak selalu mudah dipahami, bahkan setelah mengikuti kursus bahasa dasar. Di luar ruang kelas, kesulitan berlanjut dalam kehidupan sosial sehari-hari. “Gaul sama warga lokal juga susah kalau nggak punya jiwa extrovert yang tinggi,” ungkap Bintang.

Berbeda dengan negara seperti Belanda, Jerman, atau Australia yang cenderung lebih multikultural dan terbuka terhadap mahasiswa internasional, masyarakat Rusia masih relatif homogen dan tidak semua warganya terbiasa dengan interaksi antar budaya.

Di sinilah peran penting komunitas mahasiswa Indonesia di Rusia begitu terasa. Kelompok ini menjadi ruang untuk saling mendukung, berbagi pengalaman, dan meredam tekanan sosial yang dirasakan masing-masing. Namun, tidak semua mahasiswa Indonesia mampu bertahan menghadapi tekanan semacam ini.

“Nggak selalu enak,” tegas Bintang.
“Banyak yang malah pengen pulang karena nggak cocok sama suasananya, teman-temannya. Terus banyak juga yang di-DO karena nggak bisa ngikutin pelajaran. Jadi mental yang kuat itu juga penting banget kalau mau kuliah di luar negeri.”

Ketahanan mental menjadi modal utama untuk bisa bertahan dan berkembang. Tantangan ini juga mengubah pandangan ideal tentang kuliah di luar negeri yang kerap beredar di media sosial. Bintang menyebutkan bahwa apa yang tampak seperti liburan atau gaya hidup “glamor” seringkali menyembunyikan perjuangan panjang dan berat di baliknya.

3. Apakah Kuliah di Luar Negeri Solusi untuk Pendidikan Indonesia?

Fenomena #KaburAjaDulu yang sempat viral di media sosial menunjukkan keresahan generasi muda terhadap kondisi di dalam negeri. Banyak yang berpikir bahwa solusi atas masalah hidup, termasuk soal pendidikan, adalah dengan “kabur” ke luar negeri. Tapi, apakah benar demikian?

Saat ditanya soal ini, Bintang memberi pandangan yang cukup kritis. “Tanggapan aku sih nggak negatif, malah positif. Kalau orang ke luar negeri, dapat kerja, kirim uang ke orang tuanya atau bawa balik uang ke Indo, kan jadinya nambah devisa negara. Artinya, sisi positifnya sebenarnya banyak buat Indonesia,” jelasnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa kuliah di luar negeri bukan solusi jangka panjang bagi masalah pendidikan nasional. “Kalau menurutku, solusi jangka panjang buat generasi muda itu harus datang dari pemerintahnya sendiri. Kalau mereka serius mau majuin pendidikan Indonesia, ya akar dari segala masalah cuma satu: korupsi,” katanya.

Pendidikan di Indonesia tidak akan berubah hanya karena segelintir pelajarnya berkuliah di luar negeri. Justru, solusi yang menyentuh mayoritas rakyat hanya akan terjadi jika sistem dalam negeri diperbaiki secara menyeluruh. Pemerintah dituntut untuk menghadirkan sistem pendidikan yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada masa depan generasi muda.

“Jadi apakah kuliah di luar negeri jadi solusi jangka panjang untuk generasi? Tentu tidak,” ujarnya mantap.
“Tapi apakah bisa menjadi solusi untuk individual? Bisa.”

Refleksi: Antara Mimpi dan Tanggung Jawab Sosial

Kisah Andi Bintang Mapparennu menjadi gambaran nyata bahwa kuliah di luar negeri bukan pelarian tanpa masalah, melainkan perpindahan tantangan dari satu tempat ke tempat yang lain. Mulai dari beasiswa kelihatannya mudah diakses, sistem pendidikan yang super ketat, hingga adaptasi bahasa dan budaya yang tidak bisa dianggap remeh.

Pengalaman Bintang juga menegaskan bahwa fenomena #KaburAjaDulu tidak bisa dilihat sekadar sebagai tren atau candaan di media sosial. Di balik itu, ada persoalan serius yang belum terselesaikan: minimnya akses pendidikan berkualitas, kebijakan yang tidak merata, dan sistem pendidikan yang belum sepenuhnya mendukung perkembangan sumber daya manusia Indonesia.

Indonesia memerlukan pembenahan sistem dari akar, terutama dalam hal kejujuran, konsistensi kebijakan, dan keberpihakan terhadap generasi muda. Bukan hanya dalam bentuk beasiswa, tetapi juga dalam membentuk ekosistem pendidikan yang adil dan berkelanjutan.

Jadi, apakah kamu masih berpikir untuk #KaburAjaDulu? Atau justru ingin ikut memperbaiki sistem pendidikan kita dari dalam?

Penulis: Meylani
Program Studi: S-1 Sastra Inggris

Editor: Nur Ardi, Tim 5Berita.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *