5BERITA.COM — Di Indonesia, semakin banyak perempuan dan anak muda yang diserang secara verbal dan visual di ruang maya lewat DM, komentar, story reply, sampai penyebaran konten melecehkan. Sering bermula “privat”di DM, close friends, atau grup kecil lalu mendadak jadi publik lewat screenshot dan forwarding.
Topik tubuh hampir selalu jadi sasaran, seolah identitas seseorang sah dipreteli jadi objek komentar. Ketimpangan kuasa juga bekerja: pelaku berkelompok atau anonim, korban sendirian. Dan jejak digital panjang: konten yang “dihapus” belum tentu hilang ia bisa diarsipkan, di unduh , lalu muncul kembali pada waktu yang paling tidak diinginkan. Banyak yang mulai takut membuka aplikasi; jantung berdegup tiap notifikasi berbunyi.
Kasus SI di Makassar menjadi cermin nyata bagaimana pelecehan digital masih sering dianggap sepele. SI melapor setelah menerima pesan bernada seksual yang melecehkan, namun laporannya justru ditolak aparat karena kurangnya bukti. Pola serupa juga terlihat pada kasus yang sempat viral di X, ketika seorang perempuan muda mendapat pesan langsung (DM) berulang kali dari seorang laki-laki yang terobsesi padanya.
Awalnya pesan itu sekadar ungkapan perasaan, tetapi kemudian berkembang menjadi komentar bernuansa seksual yang membuat korban merasa dilecehkan dan tertekan setiap kali membuka media sosial. Rasa cemas dan tidak aman terus menghantui meski pelecehan terjadi di ruang digital.
Untuk mencari dukungan, korban akhirnya membagikan tangkapan layar pesan tersebut ke publik. Kedua kasus ini sama-sama menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah tindakan berupa pesan obsesif dan melecehkan di DM dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pelecehan digital, dan apakah bukti tangkapan layar sah untuk dibawa ke ranah hukum?
Di atas kertas, perangkat hukum kita cukup jelas. UU TPKS 12/2022 Pasal 5 huruf a dan b mengatur bahwa pelecehan seksual nonfisik, baik secara langsung maupun melalui teknologi informasi, merupakan tindak pidana. Ini menutup celah anggapan bahwa “hanya bercanda di internet” bukan pelanggaran.
Sementara UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, Pasal 27 ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Jadi, DM atau konten berbau seksual yang dilecehkan pada korban juga bisa dijerat dengan pasal ini. Meskipun UU TPKS sudah jelas mengkategorikan pelecehan digital sebagai tindak pidana.
Kesadaran masyarakat juga memegang peran penting. Masih banyak suara yang menyalahkan korban, misalnya dengan berkata, “kenapa tidak di-block saja?”, atau “kenapa membalas pesan itu?”. Pandangan seperti ini menambah beban korban. Padahal, kesalahan sepenuhnya ada pada pelaku yang melakukan pelecehan. Dengan membangun budaya empati, masyarakat bisa mendorong terciptanya ruang maya yang lebih sehat dan beradab.
Di tengah praktik yang keruh, ada pula miskonsepsi yang perlu dihentikan. Pertama, “cuma bercanda” tolok ukur candaan adalah ada atau tidaknya pihak yang direndahkan/ditakut-takuti, bukan jumlah tertawa di kolom komentar. Kedua, “salah pakaian/konten” logika victim-blaming ini memindahkan beban dari pelaku; padahal pilihan kata dan tindakan tetap tanggung jawab pelaku. Ketiga, “DM itu privat” efeknya publik: reputasi, akses pendidikan/kerja, bahkan keselamatan. Keempat, “kalau tak mau dilecehkan, jangan main medsos” sebuah seruan yang mengusir kelompok rentan dari ruang partisipasi alih-alih menahan pelaku.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Data tahunan Komnas Perempuan menunjukkan tren kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat; laporan 2024 mencatat ratusan ribu kasus, dengan KSBE/KBGO menempati posisi menonjol di ranah publik. SAFEnet juga menandai lonjakan aduan kekerasan berbasis gender online pada 2023–2024, terutama di kelompok usia 18–25 tahun.
Diam di tempat berarti membiarkan normalisasi impunitas di ruang digital. pelecehan digital membuat korban bungkam. Rasa malu, takut disalahkan, dan trauma membuat mereka menarik diri dari ruang publik memiskinkan demokrasi digital kita.
Mengapa semua ini mendesak? Karena media sosial telah menjadi ruang publik baru tempat kita bersekolah, bekerja, berdagang, berkarya, dan bersuara. Ketika pelecehan dinormalisasi, yang mundur paling duluan selalu mereka yang paling rentan perempuan, anak muda, minoritas.
Ruang publik menyempit diam-diam, dan kita kehilangan suara-suara yang seharusnya hadir. Dengan memahami bentuk dan pola pelecehan, menyadari bahwa UU TPKS dan UU ITE sudah memberikan landasan, serta membiasakan literasi bukti kita menggeser refleks spontan (adu balas, quote tweet, memperluas sebaran) menjadi tindakan terukur yang melindungi diri dan menyelamatkan arsip digital.
Kita tak kekurangan aturan, yang sering kurang adalah kebiasaan yang tepat. Di hadapan pelecehan digital, reaksi tercepat kitalah yang menentukan, kunci bukti, hentikan sebaran, jaga konteks. Itu bukan beban korban, melainkan literasi keselamatan yang bisa (dan harus) jadi budaya bersama.
Mari akhiri transaksi murahan yang menukar martabat manusia dengan angka engagement. Ruang maya semestinya memperluas kebebasan dan martabat bukan memperluas cedera. Kalau hukumnya sudah jelas, sikap kita pun harus Tegas.
Penulis:
1. Hani Theresia Purba
2. Pasya listanto
3. Dr. Rosmalinda SH., LLM
4. Annisa Hafizhah, S.H., M.H.






