5BERITA.COM, Jakarta — Bayangkan seorang pilot handal diberi kebebasan memilih rute penerbangan, namun tak pernah mendapat pelatihan membaca radar cuaca modern. Kemandirian itu bukannya membebaskan, justru menjerumuskan.
Analogi itu tepat menggambarkan dilema puluhan ribu guru Indonesia hari ini, yang dihadapkan pada tuntutan Kurikulum Merdeka dengan segala fleksibilitasnya, sementara sistem manajemen guru di tingkat akar rumput masih terkunci pada paradigma lama yang kaku dan serbauniform.
Situasi yang melatarbelakangi permasalahan ini sesungguhnya telah menjadi buah bibir lama di kalangan pendidikan. Kurikulum Merdeka, yang diusung sejak 2022, menempatkan guru sebagai perancang pembelajaran aktif yang harus mampu melakukan diagnostik literasi-numerasi, merancang proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), dan melakukan asesmen formatif yang autentik.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa hingga awal 2024, lebih dari 300.000 satuan pendidikan telah mengimplementasikan kurikulum ini. Namun, di balik angka optimistis ini, riset dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) pada 2023 mengungkap gap mengkhawatirkan: sekitar 65% guru di daerah mitranya merasa tidak cukup siap untuk mengelola pembelajaran diferensiasi, sebuah konsep kunci dalam Kurikulum Merdeka.
Kondisi ini diperparah oleh beban administratif yang tidak berkurang. Survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di 34 provinsi pada tahun yang sama menemukan bahwa 72% guru masih menghabiskan lebih dari 4 jam per minggu hanya untuk menyusun dokumen administratif yang seringkali tak langsung berkaitan dengan interaksi pembelajaran di kelas.
Tugas yang diemban guru dalam transisi kurikulum ini begitu kompleks dan multitugas. Mereka tidak hanya harus menguasai konten baru, tetapi juga menjadi fasilitator, diagnostician, dan project manager sekaligus. Sayangnya, dukungan manajerial yang seharusnya menjadi fondasi justru kerap tidak ada.
Contoh nyata dapat dilihat dari pola pelatihan yang masih bersifat massal dan sekali waktu, alih-alih berkelanjutan dan kontekstual. Selain itu, jadwal pelatihan kerap bentrok dengan tugas mengajar, sehingga guru harus memilih antara meninggalkan kelas atau kehilangan kesempatan pengembangan diri.
Lebih parah lagi, kebijakan di tingkat sekolah seringkali tidak selaras. Seorang guru yang berusaha kreatif menerapkan pembelajaran berdiferensiasi justru dihadapkan pada tuntutan kepala sekolah untuk menyamakan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dengan rekan sejawat, atau dibebani dengan tugas tambahan seperti piket administrasi yang menyita waktu persiapan mengajarnya.
Alhasil, kemandirian yang diidealkan berubah menjadi beban psikologis yang memicu kelelahan kronis (burnout). Studi kualitatif oleh Amri et al. (2023) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menggambarkan fenomena ini sebagai “kegelisahan dalam kebebasan”, di mana guru merasa terbebani oleh otonomi yang diberikan karena tidak diiringi dengan scaffolding yang memadai dari sistem.
Tindakan yang telah diambil pemerintah, seperti platform Merdeka Mengajar dan program Guru Penggerak, patut diapresiasi. Platform digital itu telah diakses oleh jutaan guru. Namun, efektivitasnya terhambat oleh persoalan mendasar: kapasitas dan budaya kerja. Banyak guru, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), masih terkendala akses internet dan literasi digital.
Sementara itu, program Guru Penggerak yang telah meluluskan sekitar 28.000 orang hingga 2024 (data Kemendikbudristek) ibarat batu pertama dalam membangun gunung. Jumlah itu masih sangat kecil dibandingkan total lebih dari 3 juta guru di Indonesia.
Mereka yang telah menjadi Guru Penggerak pun seringkali kehilangan momentum karena kembali ke ekosistem sekolah yang tidak mendukung, sehingga ilmu dan semangat yang dibawa perlahan pudar. Pelatihan daring masif pun punya kelemahan, yaitu minimnya pendampingan dan umpan balik (coaching) yang justru krusial untuk perubahan praktik. Akibatnya, yang terjadi adalah perubahan kulit, bukan perubahan kultur.
Pembelajaran kontekstual dan berdiferensiasi hanya menjadi jargon dalam RPP, sementara di kelas, metode ceramah dan pembelajaran satu arah masih dominan karena itu adalah zona nyaman yang paling mungkin dikelola di tengah tumpukan kewajiban lain.
Hasil dari ketidakselarasan ini dapat diukur dari beberapa indikator. Pertama, temuan dari Program for International Student Assessment (PISA) 2022 meski menunjukkan sedikit peningkatan, masih menempatkan Indonesia di peringkat bawah untuk literasi dan matematika.
Kedua, anekdot dari lapangan menunjukkan praktik “pembelajaran proyek” yang seharusnya menjadi jantung Kurikulum Merdeka, sering direduksi menjadi kegiatan kerajinan tangan tanpa proses investigasi mendalam. Ketiga, terjadi peningkatan beban kerja dan stres guru.
Penelitian kuantitatif oleh Sari dan Pratiwi (2024) yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Pendidikan menemukan korelasi signifikan antara tekanan implementasi Kurikulum Merdeka dengan tingkat kecemasan mengajar pada guru, terutama yang minim pengalaman. Singkatnya, kurikulum yang dirancang untuk membebaskan dan memanusiakan justru berisiko menghasilkan kelelahan dan frustrasi jika tidak didukung oleh sistem manajemen guru yang holistik.
Melihat kompleksitas ini, kita perlu belajar dari negara-negara yang berhasil melakukan reformasi kurikulum. Finlandia, sering dipuji sebagai negara dengan pendidikan terbaik, tidak serta-merta memberikan kebebasan tanpa pondasi. Guru-guru di sana menikmati otonomi luas karena telah disiapkan melalui pendidikan profesi guru (PGSD) yang sangat ketat dan selektif, serta budaya kolaborasi yang sangat kuat di sekolah.
Singapura, melalui Academy of Singapore Teachers, menyediakan sistem pengembangan profesional berjenjang dan berkelanjutan yang terintegrasi dengan penilaian kinerja dan jalur karier. Mereka tidak sekadar melatih, tetapi menciptakan ekosistem dimana pembelajaran guru adalah bagian tak terpisahkan dari pekerjaan sehari-hari, didukung penuh oleh waktu, sumber daya, dan kepemimpinan sekolah yang instruksional.
Berdasarkan analisis dan pembelajaran global tersebut, solusi inovatif harus dibangun. Pertama, revolusi pelatihan guru dari model one-off training menjadi sistem coaching dan komunitas praktik (PK) berjenjang. Dinas pendidikan kabupaten/kota perlu membentuk tim instruktur nasional (TIN) lokal yang bertugas mendampingi sekolah secara rutin, bukan hanya saat pelatihan. Kedua, reformasi manajemen waktu guru.
Sekolah perlu diberikan keleluasaan untuk mengalokasikan hingga 20% waktu kerja guru (sekitar 1 hari per minggu) khusus untuk perencanaan kolaboratif, refleksi, dan pengembangan materi, tanpa dibebani tugas administrasi lain. Ketiga, memanfaatkan teknologi secara cerdas.
Platform Merdeka Mengajar perlu diintegrasikan dengan sistem administrasi sekolah sehingga data yang diinput guru untuk keperluan pembelajaran dapat sekaligus memenuhi kebutuhan administrasi, mengurangi pekerjaan ganda. Keempat, memperkuat peran kepala sekolah sebagai instructional leader.
Seleksi dan pelatihan kepala sekolah harus difokuskan pada kemampuan mereka dalam membimbing pedagogi, mengelola perubahan, dan menciptakan lingkungan kolaboratif, bukan sekadar administrator. Kelima, kebijakan afirmatif yang masif untuk daerah 3T, berupa insentif khusus, pendampingan intensif, dan infrastruktur digital yang memadai.
Pendapat ahli memperkuat urgensi langkah-langkah ini. Prof. Iwan Syahril, Ph.D., Dirjen GTK Kemendikbudristek, dalam sebuah webinar menyatakan, “Otonomi guru harus dibangun di atas fondasi kompetensi dan kepercayaan yang kuat. Dukungan tidak boleh berhenti di pelatihan awal.”
Sementara itu, Satriwan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), menekankan, “Tanpa perubahan struktural pada sistem rekrutmen, penempatan, dan pembinaan guru, Kurikulum Merdeka hanya akan menjadi beban baru.” Di tingkat pelaksana, Siti, seorang Guru Penggerak di Lombok Tengah, berbagi pengalaman, “Kami butuh ruang diskusi yang aman untuk berbagi kegagalan dan inovasi, tanpa takut dinilai tidak kompeten.”
Kesimpulannya, Kurikulum Merdeka adalah terobosan visioner yang tepat arah. Namun, kemandirian guru tidak bisa diciptakan dengan dekret atau pelatihan singkat. Ia harus ditumbuhkan melalui ekosistem manajemen guru yang mendukung, yang memadukan pengembangan kompetensi berkelanjutan, pengurangan beban administratif, kepemimpinan instruksional yang kuat, dan budaya saling belajar.
Tanpa sinkronisasi mendasar antara kebijakan kurikulum dan manajemen guru, kita hanya memaksakan sebuah “kemandirian kosong” yang berujung pada kelelahan dan kesia-siaan. Masa depan pendidikan Indonesia tidak hanya bergantung pada kurikulum yang merdeka, tetapi lebih penting lagi, pada guru yang benarbenar dimerdekakan oleh sistem.
Penulis: Gita Handayani, Mahasiswi Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah






