5BERITA.COM, Medan — Sebagai seseorang yang memiliki perhatian terhadap pendidikan anak usia dini, saya melihat bahwa perubahan zaman menuntut adanya penyesuaian dalam metode pembelajaran. metode ceramah masih sering digunakan oleh guru dan memiliki peran penting dalam menyampaikan materi secara langsung dan terstruktur.
Namun, saya juga menyadari bahwa ceramah Memiliki keterbatasan, Terutama ketika diterapkan pada peserta didik usia dini yang cepat merasa jenuh dan membutuhkan dukungan visual agar tetap fokus. Karena itu, menurut pendapat saya, metode ceramah tidak harus ditinggalkan, tetapi perlu diperkuat melalui integrasi metode audio visual agar lebih relevan dengan kebutuhan pembelajaran masa kini, sekaligus menjadi sarana untuk mengenalkan literasi teknologi sejak dini.
Metode ceramah memang memberi ruang bagi guru untuk mengarahkan pembelajaran dengan jelas dan efektif. Namun, anak-anak pada era digital ini tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi gambar, animasi, dan suara. Mereka terbiasa menerima informasi visual sehingga lebih responsif terhadap media yang dapat dilihat dan didengar secara bersamaan. integrasi audio visual membantu mengatasi keterbatasan ceramah dan memberikan pengalaman belajar yang lebih menarik dan mudah dipahami.
Pengalaman saya ketika berkunjung ke PAUD Umairah menjadi salah satu contoh nyata. Peserta didik di sana pada dasarnya menikmati metode ceramah yang disampaikan guru. Mereka mendengarkan dengan baik dan cukup antusias. Namun, ketika saya mengajak mereka menonton video edukasi sebagai bagian dari pembelajaran, antusiasme itu meningkat secara drastis.
Peserta didik tampak lebih fokus, lebih bersemangat dan menunjukkan ketertarikan yang jauh lebih besar. Mereka mengikuti alur video dengan perhatian penuh dan tampak memahami isi materi melalui visualisasi yang ditampilkan. Dari situ, saya melihat bahwa peserta didik di PAUD Umairah sangat cepat beradaptasi dengan metode audiovisual
Pengalaman berbeda saya temukan di PAUD Al Muchtar. Di lembaga ini, peserta didik terlihat termotivasi dengan metode ceramah. Mereka mudah terdistraksi, terlihat bosan, dan seringkali tidak mempertahankan fokus. Keadaan ini menurut saya justru menambah beban guru karena harus berulang kali mengembalikan perhatian peserta didik.
Namun, ketika saya memperkenalkan video edukasi, perubahan suasana kelas sangat terasa anak-anak yang tadinya fokus mendadak menjadi lebih tenang dan antusias. Mereka mengikuti video dengan ekspresi yang cerah dan kembali terlibat dalam pembelajaran pengalaman tersebut memperkuat keyakinan saya bahwa media audio visual memiliki peran besar dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Dari dua pengalaman tersebut, saya sampai pada kesimpulan bahwa integrasi audio visual dalam metode ceramah bukan hanya sebagai variasi pembelajaran, tetapi sebagai kebutuhan yang sejalan dengan perkembangan teknologi dan karakteristik peserta didik masa kini. Metode audiovisual mempermudah pemahaman karena menyajikan visualisasi konkret, suara pendukung, serta animasi memudahkan anak menghubungkan konsep dengan pengalaman mereka sehari-hari. Ceramah menjadi lebih hidup dan lebih mudah dipahami ketika disertai media relevan.
Lebih jauh, menurut saya, penggunaan audio visual juga berperan penting dalam mengenalkan literasi teknologi. Literasi teknologi tidak hanya berarti kemampuan menggunakan perangkat, tetapi juga kemampuan memahami informasi digital secara tepat melalui video edukasi, anak-anak belajar mengenali bentuk informasi digital yang bermanfaat, belajar memahami pesan audiovisual, dan mulai mengetahui bahwa teknologi dapat menjadi sumber belajar yang positif. Hal ini merupakan pondasi awal dari literasi teknologi yang sangat dibutuhkan di masa depan.
Namun demikian, saya tetap memandang bahwa metode ceramah memiliki peran yang tidak dapat digantikan sepenuhnya oleh teknologi .Ceramah memberikan sentuhan manusiawi, komunikasi langsung, dan interaksi emosional antara guru dan peserta didik. Oleh sebab itu, menurut saya, yang diperlukan bukan mengganti ceramah melainkan mengombinasikan dengan metode audio visual agar pembelajaran menjadi lebih seimbang, interaktif, dan relevan.
Guru dapat menggunakan ceramah sebagai pembuka, kemudian melanjutkan dengan video atau gambar interaktif, dan menutup pembelajaran dengan penjelasan lanjutan. Dengan demikian, setiap metode saling menguatkan dan memberikan pengalaman belajar yang komprehensif.
Meskipun demikian, saya melihat bahwa kesiapan guru dalam menggunakan teknologi menjadi salah satu tantangan yang perlu diperhatikan. Tidak semua guru memiliki kemampuan literasi teknologi yang memadai. Oleh karena itu, pelatihan mengenai penggunaan media audio visual perlu dilakukan secara berkala agar guru mampu memilih, mengoperasikan, dan menerapkan media digital secara efektif. Tanpa dukungan pelatihan, penggunaan audio visual berpotensi tidak optimal dan bahkan dapat membingungkan peserta didik.
Pada akhirnya, mengenalkan literasi teknologi sejak dini bukanlah tentang seberapa canggih perangkat yang digunakan, melainkan tentang bagaimana teknologi dimaknai dalam proses belajar anak. Tayangan video edukasi, gambar interaktif, atau audio pembelajaran sederhana dapat menjadi jendela awal bagi anak untuk melihat bahwa teknologi bukan sekadar hiburan, tetapi juga sumber pengetahuan. Ketika metode ceramah diperkaya dengan media audio visual, pembelajaran tidak lagi terasa monoton, melainkan hadir sebagai pengalaman yang hidup, menyenangkan, dan bermakna.
Jika sejak usia dini anak sudah dibiasakan belajar dengan pendekatan yang selaras dengan dunianya, maka sekolah tidak akan lagi menjadi ruang yang membosankan, melainkan tempat yang dirindukan. Di sinilah peran guru menjadi sangat strategis: bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi sebagai pengarah agar teknologi digunakan secara bijak dan edukatif.
Dengan demikian, integrasi metode ceramah dan media audio visual bukan sekadar pilihan metodologis, melainkan sebuah keharusan pedagogis untuk menyiapkan generasi yang tidak hanya cakap secara akademik, tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman yang terus bergerak maju.
Penulis: Dinda Putri Ainiyah
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Masyarakat Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan






