5BERITA.COM, Jakarta — Perkembangan teknologi digital pada era Revolusi Industri 4.0 hingga 5.0 telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Internet, kecerdasan buatan, dan perangkat digital kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar.
Kemajuan ini membuka peluang sekaligus menimbulkan tantangan baru, terutama terkait etika digital dan kualitas pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Kedua aspek ini menjadi fondasi penting bagi Indonesia yang menargetkan visi Indonesia Emas 2045.
Untuk mencapai visi tersebut, Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga memiliki integritas digital, kecakapan etis, serta daya saing global.
Perkembangan teknologi dan kondisi pendidikan di Indonesia menunjukkan urgensi sinergi etika digital dan STEM dalam sistem pendidikan. Hingga awal 2023, pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 213 juta orang atau 77 persen dari total populasi, dan meningkat menjadi 79,5 persen pada 2024 menurut APJII.
Mayoritas aktivitas digital dilakukan melalui ponsel. Tingginya konektivitas ini belum diimbangi dengan literasi digital yang memadai, tercermin dari rendahnya kemampuan masyarakat membedakan informasi valid, mengenali hoaks, serta melindungi data pribadi.
Dalam aspek akademik, hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia pada posisi 72 dari 81 negara dengan skor matematika 366, literasi membaca 359, dan sains 383 seluruhnya berada di bawah rata-rata global dan menunjukkan penurunan dibanding tahun sebelumnya. Data ini menggambarkan bahwa meskipun akses digital semakin luas, kemampuan literasi dasar dan literasi teknologi peserta didik masih rendah.
Karena itu, integrasi pendidikan STEM yang kuat serta pembelajaran etika digital menjadi kebutuhan mendesak untuk menyiapkan generasi yang kompeten, kritis, dan bertanggung jawab menuju Indonesia Emas 2045. Artikel ini bertujuan menguraikan urgensi, tantangan, dan strategi penguatan etika digital dan STEM sebagai pilar pendidikan berkelanjutan yang berbasis data dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Dengan tujuan tersebut, artikel ini diharapkan memberikan gambaran yang jelas mengenai pentingnya membekali generasi muda dengan kemampuan teknologi yang relevan sekaligus sikap bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan media digital.
Tantangan Implementasi Etika Digital dan STEM di Sekolah Indonesia
Integrasi kurikulum STEM di Indonesia menghadapi berbagai hambatan, mulai dari kurikulum yang masih berorientasi hafalan hingga minimnya praktik pembelajaran berbasis pemecahan masalah. Banyak sekolah masih menempatkan teori sebagai fokus utama, padahal keterampilan abad ke-21 menuntut kemampuan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Tantangan ini semakin terlihat ketika membandingkan sekolah di kota besar dan sekolah di daerah.
Pada banyak daerah 3T, laboratorium sains dan perangkat digital masih minim. Banyak sekolah hanya memiliki beberapa komputer dan jaringan internet yang tidak stabil, sehingga pembelajaran berbasis proyek atau eksperimen tidak dapat dilakukan secara konsisten. Guru sering kembali pada metode ceramah karena keterbatasan sarana dan waktu.
Berbagai penelitian nasional juga menemukan bahwa model Problem-Based Learning (PBL) belum diterapkan secara merata. Banyak guru kesulitan merancang masalah autentik dan tidak memiliki pelatihan yang cukup untuk mengelola pembelajaran interdisipliner. Akibatnya, perubahan paradigma pembelajaran belum mampu berjalan sesuai tujuan Kurikulum Merdeka.
Pada saat yang sama, penggunaan internet di Indonesia meningkat pesat. Laporan We Are Social (2023) mencatat lebih dari 212 juta warga Indonesia telah terhubung internet, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan pertumbuhan digital terbesar.
Namun, peningkatan akses ini tidak diikuti dengan peningkatan literasi digital. Hasil survei awal pada peserta kegiatan menunjukkan sebagian besar pelajar belum mampu membedakan hoaks dari informasi faktual, belum memahami risiko keamanan data, dan pernah menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Kondisi ini menghadirkan risiko seperti pencurian data, penipuan digital, serta paparan ujaran kebencian.
Keterbatasan fasilitas juga berdampak besar bagi siswa penyandang disabilitas yang membutuhkan perangkat aksesibilitas khusus. Akibatnya, kesenjangan digital semakin melebar dan menghambat tujuan pemerataan pendidikan. Kesiapan guru juga menjadi isu krusial. Banyak guru mengetahui STEM hanya dari pelatihan singkat atau sumber daring.
Sebagian besar belum mampu mengintegrasikan coding dasar, eksperimen sains, atau computational thinking dalam pembelajaran. Tanpa kemampuan tersebut, penguatan karakter dan etika digital dalam aktivitas STEM sulit diwujudkan.
Penelitian Kemendikbud (2019) menunjukkan bahwa sebagian besar guru membutuhkan pelatihan lanjutan untuk memahami pendekatan interdisipliner STEM secara benar.
Kondisi ini diperparah oleh budaya sekolah yang masih berorientasi pada penilaian kognitif. Kreativitas, kolaborasi, dan kemampuan pemecahan masalah belum menjadi fokus utama, padahal kompetensi tersebut merupakan kunci untuk menghadapi tantangan masa depan.
Sinergi Etika Digital dan STEM sebagai Solusi Pendidikan Berkelanjutan
Berbagai kajian menunjukkan bahwa penguatan materi keamanan data, etika penggunaan AI, dan anti-plagiarisme digital menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Kemajuan AI membuat plagiarisme akademik semakin sulit dibedakan tanpa literasi digital yang kuat. Peserta didik perlu memahami batas penggunaan AI, tanggung jawab akademik, dan pentingnya keaslian karya. Misalnya, siswa dapat diminta menandai bagian tugas yang menggunakan bantuan AI melalui “AI Usage Transparency Note” sebagai latihan kejujuran digital.
Pengembangan proyek STEM berbasis etika dapat dilakukan melalui kegiatan sederhana seperti merancang survei daring tanpa mengumpulkan data pribadi, membuat model aplikasi edukasi sederhana berbasis Scratch, atau merancang poster kampanye keamanan berinternet. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kemampuan teknis, tetapi juga menanamkan nilai tanggung jawab teknologi.
Pelatihan guru juga perlu melibatkan praktik langsung seperti simulasi phishing, pembuatan kata sandi kuat, analisis hoaks menggunakan daftar periksa verifikasi, dan coding dasar berbasis visual. Kegiatan ini membantu guru dan siswa lebih terbiasa mengenali pola risiko digital serta menggunakan teknologi dengan aman.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, penerapan green technology di sekolah dapat menjadi langkah penting. Penelitian S. Dewi (2018) menunjukkan bahwa green computing mampu menghemat energi dan biaya operasional sekolah. Penelitian lain dari Hariyanti dan Wirapraja (2017) menegaskan bahwa penggunaan perangkat hemat energi dan manajemen digital yang baik dapat meningkatkan efisiensi sekolah. Contoh penerapan sederhana termasuk penjadwalan otomatis mati-nyala komputer, efisiensi penggunaan pendingin ruangan, dan manajemen data berbasis cloud.
Kolaborasi dengan industri teknologi juga dapat memperkaya implementasi STEM. Praktisi dapat memberikan pendampingan dalam pembuatan aplikasi sederhana, lomba robotik mini, atau tantangan pembuatan prototipe teknologi yang menggabungkan etika digital. Hal ini memberikan pengalaman nyata bagi peserta didik serta menumbuhkan minat terhadap karier teknologi masa depan.
Literasi digital juga memainkan peran penting sebagai penguat karakter. Melalui literasi digital, siswa dibiasakan untuk bersikap kritis, bertanggung jawab, dan bijak dalam aktivitas digital. Abdul Wahab (2022) menegaskan bahwa literasi digital turut menguatkan nilai-nilai seperti integritas, disiplin, dan ketelitian.
Keluarga, sekolah, dan komunitas memiliki peran penting dalam membangun budaya digital yang sehat. Keluarga menjadi fondasi pembentukan karakter, sementara sekolah melalui kolaborasi antarguru memperkuat pembiasaan sikap etis di dunia digital. Program seperti kampanye anti-hoaks, pelatihan keamanan digital, dan proyek STEM ramah lingkungan menjadi langkah penting untuk membentuk ekosistem belajar yang positif.
Studi Kasus dan Inspirasi Internasional
Pengalaman internasional seperti Singapura dan Uni Eropa menunjukkan bahwa pendidikan digital tidak hanya berfokus pada keterampilan teknologi, tetapi juga karakter dan etika. Singapura memasukkan coding sejak 2019 serta memperbarui kurikulum pada 2021 untuk memasukkan cyber-wellness dan kesehatan mental.
Di Eropa, kerangka DigComp mengintegrasikan kompetensi digital dalam robotik, coding, dan engineering, sehingga peserta didik tidak hanya kompeten secara teknis tetapi juga secara etis. Pendekatan ini dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk memperkuat sinergi STEM dan etika digital.
Beberapa daerah di Indonesia, sudah penerapan Kurikulum Merdeka melalui Projek Profil Pelajar Pancasila telah memberi contoh sinergi etika digital dan STEM. Beberapa sekolah penggerak mengembangkan proyek seperti merancang alat sederhana berbasis sensor, membuat kampanye anti-hoaks, dan mengembangkan aplikasi edukatif. Kegiatan ini tidak hanya melatih kemampuan STEM, tetapi juga membiasakan siswa untuk berpikir kritis, bertanggung jawab di ruang digital, serta memahami etika penggunaan teknologi.
Simpulan dan Rekomendasi
Penerapan STEM di Indonesia masih menghadapi tantangan seperti rendahnya literasi digital, fasilitas yang belum merata, dan kompetensi guru yang belum memadai. Integrasi STEM yang menggabungkan etika digital, keamanan data, dan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab perlu diperkuat untuk menjawab kebutuhan kompetensi abad ke-21.
Pengembangan kurikulum yang terintegrasi dengan standar global, pelatihan guru berbasis praktik, dan program proyek teknologi etis sangat penting untuk membangun ekosistem pendidikan yang berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan industri juga menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan belajar yang inovatif dan berkelanjutan.
Dengan sinergi etika digital dan STEM yang kuat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menghasilkan generasi dengan kecakapan teknologi tinggi, karakter yang kuat, dan kemampuan beradaptasi terhadap tantangan masa depan. Langkah ini akan menjadi pijakan penting dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Penulis: Nurmaulida Farhana, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nurmaulida Farhana, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif mengamati dan mengkaji strategi integrasi etika digital dalam pembelajaran STEM, termasuk isu keamanan data, literasi digital, serta pemanfaatan teknologi pendidikan untuk mendukung transformasi SDM menuju Indonesia Emas 2045.






